Cause We Can’t Get Back Yesterday
Karya
Risye Restu
Musdama
“eh broohh, hari ini aku seneng banget. Ngga tau gimana harus
ceritanya, tapi yang jelas, A K U S E N E N G B A N G E T. Tadi sore dia tanya
sesuatu lewat sms. Iya dia, si itu, dia, ah pokoknya doi aku haha. Doi?
Bukan-bukan, kurang tepat. Dia itu orang yang aku sayang. Kamu tau deh siapa
dia. Selama inikan aku sering banget cerita sama kamu. Umm tunggu deh, balik
lagi ke topik utama, aku seneng banget karena dia tanya soal hal itu, itu
lohhh... perasaan. Haha iya. Tapinya dia salah nanya, perasaan aku buat dia
bukan itu. Tapi levelnya lebih tinggi dari itu. Jadinya aku gamau jawab “iya”.
Wajar dong, kan bukan itu yang aku rasain. Aku ngeles aja akhirnya hahaha. Udah
mana lagi senam sampe sakit perut gara-gara shock ditanya kayak gitu... tapinya
malam ini lebih berarti lagi. Malam ini kali pertama aku curhat sama dia, haha
aneh ya? Padahal udah lama kenal, lumayan deket juga. Tapi baru pertama curhat.
Yaa gitu lah, selama ini hampir setiap ngobrol dia yang selalu curhat sama aku.
Aku curhat soal sosok yang dulu, oke, sosok yang dulu. Umm itu orang yang dulu
singgah lumayan lama diruang nadi aku, yang setiap kedatangannya membuat
jantungku memacu kencang untuk mengedarkan darah yang berisi oksigen kedalam
paru-paru, yaa karena aku bisa sampai kehabisan nafas kalau ketemu sosok itu.
Tapi itu dulu, iya dulu. Terakhir ketemu aja 30 maret 2013. Dan sampai detik
ini aku ngga ketemu dia lagi. Entahlah kalau sekarang ini Allah pertemukan aku
dengan dia, apa mungkin aku masih merasakan hal yang sama? Ah yasudahlah, tapi
aku... sekarang udah ngerasain hal yang kurang lebih sama ke dia, si itu. Oya,
soal curhat ke dia, aku curhat soal soal sosok itu karena aku lagi alibi soal
perasaan aku. Yaa gitu lah, aku gamau ketauan punya perasaan sama dia. Maluuuu...
jadi aku lebih pilih alibi. Aku bilang aku sayang sama sosok itu dengan cara
jauhlah, apalah. Tapi dia ngga tau yang sebenernya, dia ngga tau kalau aku
sayang sama dia dengan cara yang ini. Cara yang berbeda.” Ocehku. Tapi yang
satu ini, yang sedang aku ocehi, dia cuma diam. Diam. Hening. Tanpa suara.
Selalu begitu, selama aku cerita. Paling yang ada dia justru tunjukkin aku
sesuatu. Sesuatu tentang orang yang aku curhatin. Selalu begitu. Dan tetap pada
dasarnya. Tanpa suara. Ya, hening.
Panjang lebar aku cerita sama yang satu ini. Itu bulan mei,
tapi aku lupa tanggal berapa. Tapi aku yakin dia inget. Iyaa, dia gaakan lupa
selama kita deket. Selama kita sama-sama. Yaa... dia itu emang pendengar
sejati. Panjang lebar cerita kek, pendek sempit cerita kek, dia pasti
ngedengerin dengan baik. Dia emang setia banget deh, sahabat baik.
Agak lama setelah kejadian itu, sahabatku tunjukkin sesuatu
tentang orang yang sering banget aku ceritain. Dia tunjukkin kalau orang itu
lagi deket sama seorang cewek. Ya. Bukan aku. Pastinya. Itu sekitar bulan Juli.
Kita emang udah jauh dibulan itu. Tapi sebenernya...
“makasih tunjukkin aku soal ini, makasih ingetin aku kalau
aku ngga boleh berharap lebih banyak lagi. Tapi aku bener-bener hancur.
Kata-kata si itu buat cewek yang lagi deket sama dia. Yaampun, itu terlalu
indah untuk aku liat. Terlalu mesra untuk aku baca. Aku... aku patah harapan.”
Ceritaku. Tapi sahabat yang satu ini, selalu pada prinsipnya. Hening. Tak ada
suara. Tak berbicara. Tapi aku yakin dia tau semuanya. Tau apa perasaanku saat
itu. Apapun yang terjadi pada hatiku. Apapun yang aku rasakan. Setiap hari,
setiap saat semenjak aku dipertemukan dengan sahabatku ini oleh Allah, dia
selalu mengerti apa yang aku rasakan. Setiap kejadian, setiap peristiwa, aku
selalu bercerita padanya. Dan dia, selalu mendengarkan dengan baik, mengamati
cerita-ceritaku. Kalau ada kesempatan untuk memberitahu semua orang, siapa yang
bisa buat aku jadi jujur, aku akan beritahu mereka, dialah yang bisa buat aku
sangat jujur dan lepas, saat bercerita tentang segala yang terjadi dihidupku,
dia, sahabat baikku.
Mungkin jika dia bisa, saat aku hancur dia akan memelukku
erat-erat. Menepuk-nepuk pundakku untuk menegarkan aku. Menghapus air mata yang
mengalir dari kelopak mataku. Atau melakukan apapun untuk menghiburku. Tapi
engga. Dia gak bisa melakukan itu semua. Dia cuma bisa nyanyiin lagu-lagu untuk
aku. Yaa, lagu apapun. Selama aku ingin dia menyanyikannya untukku, dia akan
melakukan itu. Walau aku tertidur lelap saat mendengarkan nyanyiannya, dia tak
akan berhenti. Dia akan terus bernyanyi. Sampai aku ingin dia berhenti. Dia
ngga pernah mikirin dirinya sendiri. Dia selalu mengutamakanku. Aku bangga
punya sahabat kayak dia.
Pernah, saat aku lagi seneng banget karena dapet pesan dari
si itu, dia nyanyiin satu lagu, lagunya Afgan – Pesan Cinta. Haha iya. Aku
bener-bener berbunga saat itu. Tapi tetep aja, pada prinsipnya. Hening, tanpa
suara, tanpa bicara. Hanya bernyanyi. Dan selalu begitu.
Tapi sekarang, ini hari ke 40. Sejak kepergian dia 4 November
2013 lalu. Dia pergi tanpa kabar secuil pun. Tanpa meninggalkan jejak sepotek
pun. Mungkin dia marah sama aku, atau justru aku yang tak sengaja
meninggalkannya. Entahlah.
Tapi dia, aku masih berharap dia kembali ke aku. Aku masih
pengin sahabatan sama dia. Aku masih mau bercerita banyak tentang Si Itu. Kalau
dia kembali, aku akan minta maaf dan berjanji gak akan sia-sia-in dia lagi. Aku
... aku benci harus kehilangan dia. Aku sayang banget sama dia. Dia ... sahabat
terbaikku.
Kadang timbul pertanyaan dalam benakku, kenapa Allah
memisahkan aku dengan sahabatku? Kenapa sahabatku yang satu ini tak pernah
datang kembali ke aku? Ya, sampai saat ini. Dia masih tak ada. Tak ada
didekatku. Aku sangat merindukannya. Sangat. Walau dia tak pernah berbicara.
Tak pernah tertawa. Tapi dia selalu mendengarkanku. Mendengarkan kisahku yang
sebenarnya hanya penting untukku.
Hampir setiap hari semenjak dia pergi, aku merasa bahwa
sebenarnya dia ada, dan hampir setiap malam ketika aku terbangun, aku merasa dia
ada didekatku. Dan aku ingin bahwa kehilangan sahabatku hanyalah sekedar mimpi.
Tapi saat aku tersadar. Semuanya menjadi kelam. Dan aku hanya bisa ...
tersimpuh, menitikkan air mata, dan mulai menyesali segalanya. Aku yang
bersalah. Aku yang meninggalkannya. Aku. Tapi aku ... tak sengaja. Sungguh tak
sengaja. Dan tak ada niat sedikit pun. Tak ingin sedikit pun.
Aku sangat merindukan geraman-nya. Geraman untuk
membangunkanku setiap jam 04.45. Aku sangat merindukan geraman-nya saat ada
pesan masuk. Aku sangat merindukan menulis memo didalamnya. Aku sangat
merindukan melihatnya disampingku saat aku terbangun ditengah malam. Aku sangat
merindukannya.
Tapi hari itu, 4 November 2013. Aku menjatuhkannya dari sakuku.
Dan aku tak bisa menemukannya dimana pun. Aku menyesal. Aku kehilangan. Dan aku
tak akan lagi pernah bisa, membaca ulang memo yang ku tulis. Memo tentang
cerita-ceritaku. Cerita tentang hatiku. Tentang segala yang terjadi dihidupku setelah
ada dia. Dan dia, dia tidak akan
bernyanyi lagi untukku. Bernyanyi semalam suntuk. Walau aku tertidur pulas.
Walau aku terlelap saat dia bernyanyi. Aku ... merindukan SGC-ku. Iya, SGC. Itu
namanya. Samsung Galaxy Chat. Sebuah smartphone sederhana. Yang isinya sangat
jauh lebih berharga dari pada harganya. Yaa, isinyalah yang berharga. Karena
kita tak bisa membeli ‘kenangan’ dengan uang. Cause we can’t get back “yesterday”...
Tapi ini takdir Allah, aku harus ikhlas. Aku harus merelakan
sahabatku pergi dari hidupku. Selamanya. Dan aku cuma bisa berdo’a. Semoga dia,
sahabatku, SGC, berada pada orang yang tepat. Yang benar-benar membutuhkannya,
melibihi aku.
-Selamat tinggal sahabatku, yang pergi tanpa meninggalkan
bangkai, jejak, dan sepotek jasad. Ini dibuat untuk mengenang 40 hari perginya
kamu. Walau sekarang aku punya pengganti kamu, tapi aku gak akan pernah
sesayang itu sama dia. Sesayang sama smartphone
pertamaku, SGC, kamu.-