Sabtu, 14 Desember 2013

40 Hari


Cause We Can’t Get Back Yesterday

Karya

Risye Restu Musdama

“eh broohh, hari ini aku seneng banget. Ngga tau gimana harus ceritanya, tapi yang jelas, A K U S E N E N G B A N G E T. Tadi sore dia tanya sesuatu lewat sms. Iya dia, si itu, dia, ah pokoknya doi aku haha. Doi? Bukan-bukan, kurang tepat. Dia itu orang yang aku sayang. Kamu tau deh siapa dia. Selama inikan aku sering banget cerita sama kamu. Umm tunggu deh, balik lagi ke topik utama, aku seneng banget karena dia tanya soal hal itu, itu lohhh... perasaan. Haha iya. Tapinya dia salah nanya, perasaan aku buat dia bukan itu. Tapi levelnya lebih tinggi dari itu. Jadinya aku gamau jawab “iya”. Wajar dong, kan bukan itu yang aku rasain. Aku ngeles aja akhirnya hahaha. Udah mana lagi senam sampe sakit perut gara-gara shock ditanya kayak gitu... tapinya malam ini lebih berarti lagi. Malam ini kali pertama aku curhat sama dia, haha aneh ya? Padahal udah lama kenal, lumayan deket juga. Tapi baru pertama curhat. Yaa gitu lah, selama ini hampir setiap ngobrol dia yang selalu curhat sama aku. Aku curhat soal sosok yang dulu, oke, sosok yang dulu. Umm itu orang yang dulu singgah lumayan lama diruang nadi aku, yang setiap kedatangannya membuat jantungku memacu kencang untuk mengedarkan darah yang berisi oksigen kedalam paru-paru, yaa karena aku bisa sampai kehabisan nafas kalau ketemu sosok itu. Tapi itu dulu, iya dulu. Terakhir ketemu aja 30 maret 2013. Dan sampai detik ini aku ngga ketemu dia lagi. Entahlah kalau sekarang ini Allah pertemukan aku dengan dia, apa mungkin aku masih merasakan hal yang sama? Ah yasudahlah, tapi aku... sekarang udah ngerasain hal yang kurang lebih sama ke dia, si itu. Oya, soal curhat ke dia, aku curhat soal soal sosok itu karena aku lagi alibi soal perasaan aku. Yaa gitu lah, aku gamau ketauan punya perasaan sama dia. Maluuuu... jadi aku lebih pilih alibi. Aku bilang aku sayang sama sosok itu dengan cara jauhlah, apalah. Tapi dia ngga tau yang sebenernya, dia ngga tau kalau aku sayang sama dia dengan cara yang ini. Cara yang berbeda.” Ocehku. Tapi yang satu ini, yang sedang aku ocehi, dia cuma diam. Diam. Hening. Tanpa suara. Selalu begitu, selama aku cerita. Paling yang ada dia justru tunjukkin aku sesuatu. Sesuatu tentang orang yang aku curhatin. Selalu begitu. Dan tetap pada dasarnya. Tanpa suara. Ya, hening.

Panjang lebar aku cerita sama yang satu ini. Itu bulan mei, tapi aku lupa tanggal berapa. Tapi aku yakin dia inget. Iyaa, dia gaakan lupa selama kita deket. Selama kita sama-sama. Yaa... dia itu emang pendengar sejati. Panjang lebar cerita kek, pendek sempit cerita kek, dia pasti ngedengerin dengan baik. Dia emang setia banget deh, sahabat baik.

Agak lama setelah kejadian itu, sahabatku tunjukkin sesuatu tentang orang yang sering banget aku ceritain. Dia tunjukkin kalau orang itu lagi deket sama seorang cewek. Ya. Bukan aku. Pastinya. Itu sekitar bulan Juli. Kita emang udah jauh dibulan itu. Tapi sebenernya...

“makasih tunjukkin aku soal ini, makasih ingetin aku kalau aku ngga boleh berharap lebih banyak lagi. Tapi aku bener-bener hancur. Kata-kata si itu buat cewek yang lagi deket sama dia. Yaampun, itu terlalu indah untuk aku liat. Terlalu mesra untuk aku baca. Aku... aku patah harapan.” Ceritaku. Tapi sahabat yang satu ini, selalu pada prinsipnya. Hening. Tak ada suara. Tak berbicara. Tapi aku yakin dia tau semuanya. Tau apa perasaanku saat itu. Apapun yang terjadi pada hatiku. Apapun yang aku rasakan. Setiap hari, setiap saat semenjak aku dipertemukan dengan sahabatku ini oleh Allah, dia selalu mengerti apa yang aku rasakan. Setiap kejadian, setiap peristiwa, aku selalu bercerita padanya. Dan dia, selalu mendengarkan dengan baik, mengamati cerita-ceritaku. Kalau ada kesempatan untuk memberitahu semua orang, siapa yang bisa buat aku jadi jujur, aku akan beritahu mereka, dialah yang bisa buat aku sangat jujur dan lepas, saat bercerita tentang segala yang terjadi dihidupku, dia, sahabat baikku.

Mungkin jika dia bisa, saat aku hancur dia akan memelukku erat-erat. Menepuk-nepuk pundakku untuk menegarkan aku. Menghapus air mata yang mengalir dari kelopak mataku. Atau melakukan apapun untuk menghiburku. Tapi engga. Dia gak bisa melakukan itu semua. Dia cuma bisa nyanyiin lagu-lagu untuk aku. Yaa, lagu apapun. Selama aku ingin dia menyanyikannya untukku, dia akan melakukan itu. Walau aku tertidur lelap saat mendengarkan nyanyiannya, dia tak akan berhenti. Dia akan terus bernyanyi. Sampai aku ingin dia berhenti. Dia ngga pernah mikirin dirinya sendiri. Dia selalu mengutamakanku. Aku bangga punya sahabat kayak dia.

Pernah, saat aku lagi seneng banget karena dapet pesan dari si itu, dia nyanyiin satu lagu, lagunya Afgan – Pesan Cinta. Haha iya. Aku bener-bener berbunga saat itu. Tapi tetep aja, pada prinsipnya. Hening, tanpa suara, tanpa bicara. Hanya bernyanyi. Dan selalu begitu.

Tapi sekarang, ini hari ke 40. Sejak kepergian dia 4 November 2013 lalu. Dia pergi tanpa kabar secuil pun. Tanpa meninggalkan jejak sepotek pun. Mungkin dia marah sama aku, atau justru aku yang tak sengaja meninggalkannya. Entahlah.

Tapi dia, aku masih berharap dia kembali ke aku. Aku masih pengin sahabatan sama dia. Aku masih mau bercerita banyak tentang Si Itu. Kalau dia kembali, aku akan minta maaf dan berjanji gak akan sia-sia-in dia lagi. Aku ... aku benci harus kehilangan dia. Aku sayang banget sama dia. Dia ... sahabat terbaikku.

Kadang timbul pertanyaan dalam benakku, kenapa Allah memisahkan aku dengan sahabatku? Kenapa sahabatku yang satu ini tak pernah datang kembali ke aku? Ya, sampai saat ini. Dia masih tak ada. Tak ada didekatku. Aku sangat merindukannya. Sangat. Walau dia tak pernah berbicara. Tak pernah tertawa. Tapi dia selalu mendengarkanku. Mendengarkan kisahku yang sebenarnya hanya penting untukku.

Hampir setiap hari semenjak dia pergi, aku merasa bahwa sebenarnya dia ada, dan hampir setiap malam ketika aku terbangun, aku merasa dia ada didekatku. Dan aku ingin bahwa kehilangan sahabatku hanyalah sekedar mimpi. Tapi saat aku tersadar. Semuanya menjadi kelam. Dan aku hanya bisa ... tersimpuh, menitikkan air mata, dan mulai menyesali segalanya. Aku yang bersalah. Aku yang meninggalkannya. Aku. Tapi aku ... tak sengaja. Sungguh tak sengaja. Dan tak ada niat sedikit pun. Tak ingin sedikit pun.

Aku sangat merindukan geraman-nya. Geraman untuk membangunkanku setiap jam 04.45. Aku sangat merindukan geraman-nya saat ada pesan masuk. Aku sangat merindukan menulis memo didalamnya. Aku sangat merindukan melihatnya disampingku saat aku terbangun ditengah malam. Aku sangat merindukannya.

Tapi hari itu, 4 November 2013. Aku menjatuhkannya dari sakuku. Dan aku tak bisa menemukannya dimana pun. Aku menyesal. Aku kehilangan. Dan aku tak akan lagi pernah bisa, membaca ulang memo yang ku tulis. Memo tentang cerita-ceritaku. Cerita tentang hatiku. Tentang segala yang terjadi dihidupku setelah ada dia.  Dan dia, dia tidak akan bernyanyi lagi untukku. Bernyanyi semalam suntuk. Walau aku tertidur pulas. Walau aku terlelap saat dia bernyanyi. Aku ... merindukan SGC-ku. Iya, SGC. Itu namanya. Samsung Galaxy Chat. Sebuah smartphone sederhana. Yang isinya sangat jauh lebih berharga dari pada harganya. Yaa, isinyalah yang berharga. Karena kita tak bisa membeli ‘kenangan’ dengan uang. Cause we can’t get back “yesterday”...

Tapi ini takdir Allah, aku harus ikhlas. Aku harus merelakan sahabatku pergi dari hidupku. Selamanya. Dan aku cuma bisa berdo’a. Semoga dia, sahabatku, SGC, berada pada orang yang tepat. Yang benar-benar membutuhkannya, melibihi aku.

-Selamat tinggal sahabatku, yang pergi tanpa meninggalkan bangkai, jejak, dan sepotek jasad. Ini dibuat untuk mengenang 40 hari perginya kamu. Walau sekarang aku punya pengganti kamu, tapi aku gak akan pernah sesayang itu sama dia. Sesayang sama smartphone pertamaku, SGC, kamu.-